February 27, 2012

Root Cause Analysis of Incident

|0 komentar
Tujuan utama dari analisa kecelakaan adalah untuk mengetahui penyebab utama kejadian kecealakaan dalam upaya mencegah terjadinya kembali kecelakaan tersebut. Setiap analisa akar penyebab (root cause) dan proses pelaporan dari suatu kejadian kecelakaan secara umum di bagi dalam lima tahapan sebagai berikut:

Tahap I. Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah tahapan yang sangat penting untuk memulai analisis akar penyebab kejadian kecelakaan. Pengumpulan data harus segera dilakukan setelah terjadinya kecelakaan untuk memastikan tidak ada data yang hilang segera setelah terjadinya identifikasi untuk memastikan bahwa data tidak hilang. Tanpa mengorbankan keselamatan atau pemulihan,data harus dikumpulkan bahkan selama terjadinya kecelakaan atau incident. Informasi yang harus dikumpulkan terdiri dari kondisi sebelum,selama,dan setelah terjadinya;personil yang terlibat (termasuk tindakan yang diambil);faktor lingkungan,dan informasi lain yang memiliki relevansi dengan kejadian kecelakaan tersebut.

Tahap II. Penilaian

Setiap metode analisa root cause yang digunakan pasti melalui tahapan berikut: 
  1. Mengidentifikasi masalah
  2. Menentukan pentingnya masalah
  3. Mengidentifikasi penyebab (kondisi atau tindakan) sesegera mungkin baik sebelum dan sekitar kejadian.
  4.  Mengidentifikasi alasan mengapa penyebab pada langkah sebelumnya ada,dan menganalisa akar pemyebabnya (alasan yang mendasar dan jika diperbaiki akan mencegah terulangnya kejadian yang sama atau serupa diseluruh fasilitas perusahaan).  

Tahap III. Tindakan korektif

Melaksanakan tindakan-tindakan korektif berdasarkan rekomendasi tahapan sebelumnya secara efektif untuk mengurangi penyebab dari setiap kemungkinan terulangnya kejadian kecelakaan dan meningkatkan kehandalan sistem keselamatan dan keamanan. Penting untuk diketahui dalam merencanakan tindakan korektif harus berdasarkan hasil analisis root cause yang telah dilakukan pada tahapan sebelumnya. Tindakan korektif hendaklah mempertimbangkan tiga faktor utama penyebab kecelakaan yaitu:Working Condition,Sistem Management dan Human Factor.
Penyebab dasar kecelakaan dapat dikelompokan pada tiga kelompok yang saling berhubungan,yaitu (Heinrich,1980):
  1. Kebijakan dan keputusan manajemen.
  2. Faktor personal (pekerja)
  3. Faktor lingkungan.
Kelompok pertama adalah kebijakan dan keputusan manajemen,misalnya adalah target produksi dan keselamatan;  prosedur kerja;pencatatan;penugasan tanggung jawab dan otoritas,dan kepercayaaan;pemilihan karyawan,pelatihan,penempatan,pengawasan dan pengarahan;  prosedur komunikasi;  prosedur inspeksi;  peralatan,suplai,dan disain fasilitas,pembelian dan perawatan;prosedur pekerjaan standar dan darurat;dan kebersihan dan kerapian.
Kelompok kedua adalah faktor personal atau pekerja,misalnya adalah motivasi;keadaan fisik dan mental;waktu reaksi;kepedulian pribadi.
Kelompok ketiga adalah faktor lingkungan,misalnya adalah temperatur;tekanan;kelembaban;debu;gas;uap;aliran udara;kebisingan;pencahayaan;kondisi alami lingkungan (permukaan yang licin,hambatan,penopang yang tidak baik,benda berbahaya).

Tahap IV. Menginformasikan

Tahapan ini sangat penting untuk membantu pelaksanaan tindakan korektif guna mencegah terulangnya kecelakaan. Hasil analisis penyebab kecelakaan harus dikomunikasikan dan diinformasikan kepada semua stakeholder seperti pekerja,supervisor dan line manajemen. Sangat disarankan untuk menjelaskan kepada pekerja yang berhubungan dengan proses terjadinya kecelakan dan proses serupa secara detil baik melalui daily meeting,news letter,papan informasi dll. Informasi harus meliputi penyebab dan proses terjadinya kecelakaan serta tindakan korektif yang akan dilakukan dan penekanan terhadap keterlibatan mereka dalam mencegah terjadinya kecelakaan serupa dimasa mendatang.

Tahap V. Tindak lanjut

Tindak lanjut termasuk menentukan apakah tindakan perbaikan telah efektif dalam
memecahkan masalah. Kajian efektivitas sangat penting untuk memastikan bahwa tindakan perbaikan yang telah ditetapkan dapat mencegah kejadian tersebut terulang kembali..
Keterlibatan manajemen dan alokasi sumber daya yang memadai sangat penting untuk mensukses pelaksanaan tahapan analisa root cause tersebut diatas.

February 18, 2012

Pendekatan Behavior Based Safety Dalam Mengurangi Angka Kecelakaan Kerja

|0 komentar
Sejak awal tahun 1990 behavioural safety telah begitu pesat menjadi senjata dalam memerangi kecelakaan kerja. Behavior-based safety telah banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan untuk mengurangi rasio kecelakaan kerja. Dari riset yang dilakukan oleh banyak ahli behavior di banyak negara memperlihatkan bahwa penerapan teknik-teknik behavioral safety dapat mengurangi kecelakaan antara 40 -75% dalam waktu dua sampai enam belas bulan. (Iihat referensi). Behavior-based safety adalah suatu aplikasi sistimatis dari riset psikologi terhadap perilaku manusia (human behavior) dalam masalah-masalah K3 di tempat kerja. Menyadari apa yang telah dilakukan oleh para ahli tersebut, walaupun belum secara utuh, Kondur Petroleum S.A mulai melaksanakan prinsip-prinsip 'Behavioral Safety'. Kondur mengkaji kecelakaan yang terjadi pada kurun waktu tahun 2000 sampai Juli 2001 untuk menentukan langkah langkah yang sesuai untuk diterapkan dalam mengurangi kecelakaan kerja, yaitu dengan mengkombinasikan sistem manajemen K3 yang dipakai saat ini yaitu International Safety Rating System (ISRS) dengan prinsip-prinsip behavioural safety. Dari kecelakaan kerja yang dievaluasi dengan menggunakan parameter Systematic Cause Analysis Technique (SCAT) - ISRS didapatkan bahwa 65.3% disebabkan oleh faktor unsafe behavior. 

Evaluasi Kecelakaan

Metodologi evaluasi yang dilakukan adalah dengan
1)    pengumpulan data kecelakaan
2)    wawancara
3)    Pengamatan sistim ijin kerja (Permit to Work System).
Evaluasi diawali dengan melihat Penyebab Dasar (Basic Causes) yang terdiri dari PERSONAL FACTORS dan JOB FACTORS, kemudian dilihat sisi Personal Factors yang mengandung 'behavior'.

Mengapa Fokus pada Unsafe Behavior ?

Dari hasil evaluasi menunjukan bahwa 65.3% dari kecelakaan yang terjadi di tempat kerja disebabkan oleh perilaku tidak aman (unsafe behavior). Perilaku ini mempunyai kecenderungan negatif untuk mengganggu lingkungan kerja secara umum. Oleh sebab itu kini pelaku K3 menyadari bahwa peningkatan pengelolaan K3 dapat dicapai dengan lebih memfokus pada unsafe behavior di tempat kerja.

Mengapa manusia melakukan unsafe behavior ?

Manusia cenderung melakukan tindakan tidak aman -unsafe behavior - karena mereka belum mengalami kecelakaan pada waktu mereka melakukan pekerjaan dengan cara tidak aman. Mereka belum menyadari keadaan tidak aman tersebut. "Saya selalu melakukannya begitu, tidak apa- apa!" ini adalah komentar yang umum yang dilontarkan oleh pekerja. Hal ini bisa benar, tapi bisa salah, namun potensi terjadinya kecelakaan tidak jauh seperti diilustrasikan oleh banyak teori segitiga kecelakaan. Misalnya, Teori segitiga Heinrich mengatakan setiap 330 tindakan tidak aman, dapat terjadi 29 kecelakaan minor dan 1 kecelakaan serius (kecelakaan hilang hari kerja), atau teori segitiga kecelakaan lainnya. Prinsip yang diilustrasikan disini adalah bahwa konsekuensi dari tindakan tidak aman hampir selalu mengandung unsafe behavior, hanya karena perilaku tersebut terulang

Bagaimana pendapat anda ketika menghadapi situasi dimana untuk membaca pressure gauge di suatu sumur mengharuskan memakai alat pelindung diri lengkap yang memakan waktu kurang lebih 10 menit sedangkan membacanya hanya perlu waktu 10 detik ? Dalam hal seperti ini sering memaksa pekerja melanggar peraturan dan bertindak tidak aman (unsafe behavior). Malahan kadang-kadang atasan menutup-mata terhadap hal-hal seperti itu, sehingga banyak pekerja lain yang meniru cara kerja demikian. Tidak dipungkiri bahwa atasan mendukung pekerja mengambil jalan-pintas agar cepat selesai untuk mencapai target produksi.

Pendekatan Terpadu

Seperti kita ketahui, ISRS yang terdiri dari 20 elemen banyak sekali menggunakan pendekatan behavior dalam penerapan manajemen K3 diantaranya :

Elemen 1 : Leadership and Administration
Melibatkan partisipasi pekerja dalam pengelolaan K3. Dari sisi traditional, pengelolaan K3 dikelola dari atas kebawah yang mempunyai tendensi macet di level lini, sehingga mengakibatkan pekerja tidak dilibatkan dan merasa kurang dihargai dan kemungkinan dapat berbuat perilaku tidak aman. Dalam hal pendekatan behavior diharapkan dapat mengatasi kemacetan ini melalui pendekatan dari bawah keatas, disini pekerja diberikan peluang untuk berpartisipasi untuk mendapatkan komitmennya sehingga pekerja merasa sebagai ownership dari proses manajemen K3.

Elemen 5: Accident/Incident Investigation, dan
Elemen 9: Accident/Incident Analysis
Pendekatan yang ada pada ISRS secara umum untuk kecelakaan dan hampir celaka kami anggap sudah memenuhi kebutuhan untuk mendapatkan masukan ha-hal yang berhubungan dengan unsafe-behavior untuk perbaikan program  kerja khususnya mengurangi kecelakaan. Dilihat dari sisi behavior-based safety pendekatan secara behavior positif sebenarnya dapat dilakukan dengan menginformasikan penyebab-penyebab kecelakaan dan kondisi-kondisi tidak aman melalui elemen 15 Personal Communication yang menitikberatkan pada Planned-Personal-Contact antara atasan dan bawahan. Atau melalui elemen 16 Group Communication yaitu pada pelaksanaan Group HSE Meeting.

Elemen 4 : Critical Task Analysis dan procedure,
Elemen 6 : Task Observation,
Elemen 14: Engineering Change Management.
Indentifikasi tugas serta melakukan risk assessment merupakan salah satu kunci untuk mengetahui risiko yang ada dan kemudian dilakukan tindakan yang diperlukan untuk mencapai tingkat risiko yang dapat diterima. Sisi lain menghilangkan bahaya dengan teknik rekayasa mengurangi potensi unsafe behavior. Namun, tidak selalu berhasil.  Hal itu semata-mata karena manusia mempunyai kecenderungan untuk melakukan tindakan tidak aman dan melakukan override safety system. Sebagai contoh, untuk sistem pengamanan gedung dari kebakaran, operator control room yang bertugas mendapatkan alarm kebakaran dari smoke/heat detector di suatu ruangan, kemudian dilakukan pengecekan, tetapi tidak ada kebakaran. Karena sering mendapatkan hal seperti ini melakukan override system ini dan akibatnya bila suatu saat ada kebakaran yang sesungguhnya maka detector tidak dapat mendetaksi. Tindakan ini merupakan unsafe behavior. .

Elemen 8 : Rule and Work Permit
Memberi hukuman sampai pekerja melakukan safe behavior ? Cara ini praktis, namun dapat mengarah pada dampak positif atau negatif. Pendekatan ini lebih menekankan pentaatan disiplin dan penghukuman untuk menghimbau tidak melakukan tindakan tidak aman, sementara perilaku-aman tidak diperhatikan.

Hal seperti ini sering menghasilan kebalikan yang diinginkan (karena takut kena sanksi maka kecelakaan atau near-miss tidak dilaporkan). Walaupun peraturan dapat diberlakukan, lebih sering tidak dipatuhi. Alasannya sangat sederhana : efektifitas dari konsistensi pemberlakuannya. Itu hukuman dapat tergantung efektif jika langsung pada dilakukan, dan berlaku untuk setiap tindakan tidak aman yang terjadi. Memberi penghargaan pada pekerja yang melakukan safe behavior ? Bagaimana manajemen lini dapat memastikan bahwa penguatan 'bekerja dengan aman' lebih kuat dari mereka yang 'bekerja dengan tidak aman'. Sudah menjadi kenyataan bahwa manusia cenderung memberi respon lebih pada suatu penghargaan dan 'social approval' dari pada faktor lain. Namun yang krusial adalah, sifat manusia yang hanya ingin melakukan karena pujian. Peningkatan kepercayaan oleh atasan kepada anak buah dapat berdampak pada budaya K3 yang positif. Aplikasi Bagaimana mengaplikasikan pengetahuan ini untuk meningkatkan 'safety behavior’ Kita mengetahui bahwa dengan memfokus pada safety behavior dapat membawa perubahan yang diinginkan dan bahwa perubahan sikap dapat merubah perilaku. Kita mengetahui pula bahwa, 'social approval' dan himbauan dapat membawa perubahan positif pada norma-norma K3. Dan, kita tahu pula bahwa pekerja adalah orang terbaik untuk merubah norma K3 mereka, karena mereka sendiri yang mengkontrol perilakunya. Oleh sebab itu, setiap inisiatif perba1kan pengelolaan K3 yang mengandalkan line management secara exclusif belum tentu berhasil seperti mengandalkan pekerja itu sendiri.

Pendekatan behavioral safety adalah sangat bergantung pada pekerja dan diperbaiki oleh pekerja, sejalan dengan manajemen. Dengan cara ini, pekerja diberikan tanggung jawab dan batasan-batasan untuk mengidentifikasi dan memantau tindakannya (safe and unsafe behaviors), demikian juga menyusun target 'perbaikan K3' mereka sendiri.  Hasilnya, kelompok kerja dapat menentukan norma-norma K3 mereka dalam lingkungan yang mendukung. Line management memfasilitasi proses ini dengan memberikan sumber-sumber dan dukungan untuk menghimbau 'employee ownership of safety', juga menekankan bahwa tidak seorangpun akan diberikan sanksi sebagai akibat dari pemantauannya. Dengan cara ini tercipta 'blame free' pro-active safety culture yang sangat vital dalam pencapaian sukses jangka panjang.



Translate this blog

English French German Japanese Korean Chinese Russian Spanish
India Saudi Arabia Netherland Portugal Italian Philippines Ukraina Norwegia
Powered by
Widget translator