November 30, 2011

Mencermati keluarnya GAPKI dari RSPO

|0 komentar
Tanggal 29 September 2011 Gabungan Asosiasi Pengusaha Sawit Indonesia (GAPKI) menyatakan keluar dari keanggotaan RSPO. Berbagai kalangan dan pengamat menanggapi isu ini dari berbagai sudut pandang pro dan kontra. Pihak yang mendukung menyatakan bahwa keluarnya GAPKI dari RSPO merupakan langkah yang tepat mengingat Indonesia yang notabene adalah produsen Sawit terbesar di dunia justru memiliki posisi tawar yang lemah di RSPO, hal ini dipahami oleh kalangan pro bahwa selama ini forum RSPO tidak banyak memberikan manfaat untuk anggotanya. Keluarnya GAPKI dari RSPO juga dipandang bahwa pada dasarnya keanggotaan RSPO lebih banyak didominasi oleh Negara-negara konsumen dan industri. Pendapat lain dari kalangan pro menyatakan bahwa Indonesia sendiri sudah memiliki standar kelapa sawit yang berkelanjutan yakni ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil), sehingga keluarnya GAPKI dari ISPO diharapkan dapat mengembangkan ISPO terutama dalam mendapatkan pengakuan dunia. Sedangkan pihak yang ‘menyayangkan’ GAPKI berusaha menanggapi keluarnya GAPKI dari forum tersebut secara objektif melihat dari sudut pandang peraturan keanggotaan RSPO.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah ISPO yang dianggap sebagai standar kelestarian kelapa sawit di Indonesia mampu mengembangkan diri menjadi lembaga sertifikasi yang diakui dunia? Dengan umur yang masih sangat muda, hal ini menjadi tanda Tanya besar bagi kalangan industry kelapa sawit Indonesia maupun luar negeri. Pun ISPO bersifat ‘mandatori’ namun bagaimana menarik pasar luar negeri terutama negara-negara Eropa tidaklah cukup hanya dengan rerulasi pemerintah. GAPKI dan seluruh anggota ISPO harus bekerja secara professional dan fokus terhadap nilai-nilai kelestarian yang tertuang dalam ISPO, kepentingan politik harus dikesampingkan terlebih dahulu, karena percaya atau tidak ‘pasar’ sudah semakin memahami arti dari ‘sustainability’.

Dalam konteks kelembagaan kehadiran ISPO juga harus dipandang sebagai daya tarik tersendiri dalam menciptakan keberlanjutan kelapa sawit, keberadaan RSPO dan ISPO hendaknya dijadikan acuan bagi pelaku industry kelapa sawit sebagai kerangka dasar dalam melaksanakan system manajemen persawitan secara berkelanjutan.

November 26, 2011

Pemeriksaan sebelum pengoperasian gergaji mesin (chainsaw)

|1 komentar
Chainsaw (gergaji mesin) merupakan peralatan mekanis yang biasa digunakan untuk menebang pohon atau memotong kayu. Kelebihan chainsaw dibanding gergaji tangan adalah dari segi kecepatan memotong dan hasil potongan yang lebih rapi. Jenis dan model chainsaw yang umum digunakan saat ini adalah jenis yang ringan, kekuatan mesin 10-12 HP dengan panjang bilah penghantar antara 24-30 inchi.

November 23, 2011

Toolbox Topic Meeting

|0 komentar
Toolbox topic atau toolbox meeting adalah serangkaian informasi singkat yang diberikan kepada pekerja sebelum memulai aktifitas pekerjaan. Materi toolbox disusun oleh departement safety,

November 22, 2011

Sekilas Mengenai AMDAL

|3 komentar
Definisi AMDAL

AMDAL( Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup, dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk pengambilan keputusan. Peraturan mengeni AMDAL tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Agar pelaksanaan AMDAL berjalan efektif dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan, pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perijinan. Peraturan pemerintah tentang AMDAL secara jelas menegaskan bahwa AMDAL adalah salah satu syarat perijinan, dimana para pengambil keputusan wajib mempertimbangkan hasil studi AMDAL sebelum memberikan ijin usaha/kegiatan. AMDAL digunakan untuk mengambil keputusan tentang penyelenggaraan/pemberian ijin usaha dan/atau kegiatan.

Manfaat AMDAL
  • Bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah 
  •  Membantu proses pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan 
  •  Memberi masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana usaha dan/atau kegiatan 
  •   Memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup 
  • Memberi informasi bagi masyarakat atas dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana usaha dan atau kegiatan
Dokumen AMDAL
  
  • Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL) 
  • Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) 
  • Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) 
  • Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) 
  • Tiga dokumen (ANDAL, RKL dan RPL) diajukan bersama-sama untuk dinilai oleh Komisi Penilai AMDAL. Hasil penilaian inilah yang menentukan apakah rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut layak secara lingkungan atau tidak dan apakah perlu direkomendasikan untuk diberi ijin atau tidak.

Prosedur AMDAL

Prosedur AMDAL terdiri dari :
1.        Proses penapisan (screening) wajib AMDAL
2.       Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat
3.        Penyusunan dan penilaian KA-ANDAL (scoping)
4.       Penyusunan dan penilaian ANDAL, RKL, dan RPL
5.        Proses penapisan atau kerap juga disebut proses seleksi kegiatan wajib AMDAL, yaitu menentukan apakah suatu rencana kegiatan wajib menyusun AMDAL atau tidak.
6.      Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat. Berdasarkan Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor 08/2000, pemrakarsa wajib mengumumkan rencana kegiatannya selama waktu yang ditentukan dalam peraturan tersebut, menanggapi masukan yang diberikan, dan kemudian melakukan konsultasi kepada masyarakat terlebih dulu sebelum menyusun KA-ANDAL.
7.       Proses penyusunan KA-ANDAL. Penyusunan KA-ANDAL adalah proses untuk menentukan lingkup permasalahan yang akan dikaji dalam studi ANDAL (proses pelingkupan).
8.       Proses penilaian KA-ANDAL. Setelah selesai disusun, pemrakarsa mengajukan dokumen KA-ANDAL kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal untuk penilaian KA-ANDAL adalah 75 hari di luar waktu yang dibutuhkan oleh penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.
9.       Proses penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL. Penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL dilakukan dengan mengacu pada KA-ANDAL yang telah disepakati (hasil penilaian Komisi AMDAL).
10.    Proses penilaian ANDAL, RKL, dan RPL. Setelah selesai disusun, pemrakarsa mengajukan dokumen ANDAL, RKL dan RPL kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal untuk penilaian ANDAL, RKL dan RPL adalah 75 hari di luar waktu yang dibutuhkan oleh penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.

Siapa yang Menyusun AMDAL?
Dokumen AMDAL harus disusun oleh pemrakarsa suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. Dalam penyusunan studi AMDAL, pemrakarsa dapat meminta jasa konsultan untuk menyusunkan dokumen AMDAL. Penyusun dokumen AMDAL harus telah memiliki sertifikat Penyusun AMDAL dan ahli di bidangnya. Ketentuan standar minimal cakupan materi penyusunan AMDAL diatur dalam Keputusan Kepala Bapedal Nomor 09/2000

November 20, 2011

Sejarah Perkembangan K3

|0 komentar
Mungkin ada yang ingin mengetahui sejarah perkembangan K3 mulai dari zaman pra-sejarah sampai dengan zaman modern sekarang, berikut uraian singkatnya (dikutip dari berbagai sumber)
 a. Zaman Pra-Sejarah
Pada zaman batu dan goa (Paleolithic dan Neolithic) dimana manusia yang hidup pada zaman ini telah mulai membuat kapak dan tombak yang mudah untuk digunakan serta tidak membahayakan bagi mereka saat digunakan. Disain tombak dan kapak yang
mereka buat umumnya mempunyai bentuk yang lebh besar proporsinya pada mata kapak atau ujung tombak. Hal ini adalah untuk menggunakan kapak atau tombak tersebut tidak memerlukan tenaga yang besar karena dengan sedikit ayunan momentum yang
dihasilkan cukup besar. Disain yang mengecil pada pegangan dimaksudkan untuk tidak membahayakan bagi pemakai saat mengayunkan kapak tersebut.
b. Zaman Bangsa Babylonia (Dinasti Summeria) di Irak
Pada era ini masyarakat sudah mencoba membuat sarung kapak agar aman dan tidak membahayakan bagi orang yang membawanya. Pada masa ini masyarakat sudah mengenal berbagai macam peralatan yang digunakan untuk membantu pekerjaan mereka. Dan semakin berkembang setelah ditemukannya tembaga dan suasa sekitar 3000-2500 BC. Pada tahun 3400 BC masyarakat sudah mengenal konstruksi dengan menggunakan batubata yang dibuat proses pengeringan oleh sinar matahari. Pada era ini masyarakat sudah membangunan saluran air dari batu sebagai fasilitas sanitasi.  Pada tahun 2000 BC muncul suatu peraturan “Hammurabi” yang menjadi dasar adanya kompensasi asuransi bagi pekerja.
c. Zaman Mesir Kuno
Pada masa ini terutama pada masa berkuasanya Fir’aun banyak sekali dilakukan pekerjaan-pekerjaan raksasa yang melibatkan banyak orang sebagai tenaga kerja. Pada tahun 1500 BC khususnya pada masa Raja Ramses II dilakukan pekerjaan
pembangunan terusan dari Mediterania ke Laut Merah. Disamping itu Raja Ramses II juga meminta para pekerja untuk membangun “temple” Rameuseum. Untuk menjaga agar pekerjaannya lancar Raja Ramses II menyediakan tabib serta pelayan untuk menjaga kesehatan para pekerjanya.
d. Zaman Yunani Kuno
Pada zaman romawi kuno tokoh yang paling terkenal adalah Hippocrates. Hippocrates berhasil menemukan adanya penyakit tetanus pada awak kapal yang ditumpanginya.
e. Zaman Romawi
Para ahli seperti Lecretius, Martial, dan Vritivius mulai memperkenalkan adanya gangguan kesehatan yang diakibatkan karena adanya paparan bahan-bahan toksik dari lingkungan kerja seperti timbal dan sulfur. Pada masa pemerintahan Jendral Aleksander
Yang Agung sudah dilakukan pelayanan kesehatan bagi angkatan perang.
f. Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan sudah diberlakukan pembayaran terhadap pekerja yang mengalami kecelakaan sehingga menyebabkan cacat atau meninggal. Masyarakat pekerja sudah mengenal akan bahaya vapour di lingkungan kerja sehingga disyaratkan
bagi pekerja yang bekerja pada lingkungan yang mengandung vapour harus menggunakan masker.
g. Abad ke-16
Salah satu tokoh yang terkenal pada masa ini adalah Phillipus Aureolus Theophrastus Bombastus von Hoheinheim atau yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Paracelsus mulai memperkenalkan penyakit-penyakit akibat kerja terutama yang dialama oleh pekerja tambang. Pada era ini seorang ahli yang bernama Agricola dalam bukunya De Re Metallica bahkan sudah mulai melakukan upaya pengendalian bahaya timbal di pertambangan dengan menerapkan prinsip ventilasi.
h. Abad ke-18
Pada masa ini ada seorang ahli bernama Bernardino Ramazzini (1664 – 1714) dari Universitas Modena di Italia, menulis dalam bukunya yang terkenal : Discourse on the diseases of workers, (buku klasik ini masih sering dijadikan referensi oleh para ahli K3
sampai sekarang). Ramazzini melihat bahwa dokter-dokter pada masa itu jarang yang melihat hubungan antara pekerjaan dan penyakit, sehingga ada kalimat yang selalu diingat pada saat dia mendiagnosa seseorang yaitu “ What is Your occupation ?”.
ramazzini melihat bahwa ada dua faktor besar yang menyebabkan penyakit akibat kerja, yaitu bahaya yang ada dalam bahan-bahan yang digunakan ketika bekerja dan adanya gerakan-gerakan janggal yang dilakukan oleh para pekerja ketika bekerja (ergonomic
factors).
i. Era Revolusi Industri (Traditional Industrialization)
Pada era ini hal-hal yang turut mempengaruhi perkembangan K3 adalah :
  1. Penggantian tenaga hewan dengan mesin-mesin seperti mesin uap yang baru ditemukan sebagai sumber energi.
  2. Penggunaan mesin-mesin yang menggantikan tenaga manusia
  3. Pengenalan metode-metode baru dalam pengolahan bahan baku (khususnya bidang industri kimia dan logam).
  4. Pengorganisasian pekerjaan dalam cakupan yang lebih besar berkembangnya industri yang ditopang oleh penggunaan mesin-mesin baru.
  5. Perkembangan teknologi ini menyebabkan mulai muncul penyakit-penyakit yang berhubungan dengan pemajanan karbon dari bahan-bahan sisa pembakaran.
j. Era Industrialisasi (Modern Idustrialization)
Sejak era revolusi industri di ata samapai dengan pertengahan abad 20 maka penggnaan teknologi semakin berkembang sehingga K3 juga mengikuti perkembangan ini. Perkembangan pembuatan alat pelindung diri, safety devices. dan interlock dan alat-alat
pengaman lainnya juga turut berkembang.
k. Era Manajemen dan Manjemen K3
Perkembangan era manajemen modern dimulai sejak tahun 1950-an hingga sekaran. Perkembangan ini dimulai dengan teori Heinrich (1941) yang meneliti penyebabpenyebab kecelakaan bahwa umumnya (85%) terjadi karena faktor manusia (unsafe act)
dan faktor kondisi kerja yang tidak aman (unsafe condition). Pada era ini berkembang system automasi pada pekerjaan untuk mengatasi masalah sulitnya melakukan perbaikan terhadap faktor manusia. Namun system otomasi menimbulkan masalah-masalah manusiawi yang akhirnya berdampak kepada kelancaran pekerjaan karena adanya blok-blok pekerjaan dan tidak terintegrasinya masing-masing unit pekerjaan. Sejalan dengan itu Frank Bird dari International Loss Control Institute (ILCI) pada tahun
1972 mengemukakan teori Loss Causation Model yang menyatakan bahwa factor manajemen merupakan latar belakang penyebab yang menyebabkan terjadinya kecelakaan. Berdasarkan perkembangan tersebut serta adanya kasus kecelakaan di Bhopal tahun
1984, akhirnya pada akhir abad 20 berkembanglah suatu konsep keterpaduan system manajemen K3 yang berorientasi pada koordinasi dan efisiensi penggunaan sumber daya. Keterpaduan semua unit-unit kerja seperti safety, health dan masalah lingkungan
dalam suatu system manajemen juga menuntut adanya kualitas yang terjamin baik dari aspek input proses dan output. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya standar-standar internasional seperti ISO 9000, ISO 14000 dan ISO 18000.
l. Era Mendatang
Perkembangan K3 pada masa yang akan datang tidak hanya difokuskan pada permasalahan K3 yang ada sebatas di lingkungan industri dan pekerja. Perkembangan K3 mulai menyentuh aspek-aspek yang sifatnya publik atau untuk masyarakat luas.
Penerapan aspek-aspek K3 mulai menyentuh segala sektor aktifitas kehidupan dan lebih bertujuan untuk menjaga harkat dan martabat manusia serta penerapan hak asazi manusia demi terwujudnya kualitas hidup yang tinggi. Upaya ini tentu saja lebih bayak
berorientasi kepada aspek perilaku manusia yang merupakan perwujudan aspek-aspek K3.

Identifikasi Bahaya pada kegiatan sistem pemanenan mekanis (mechanized harvesting) hutan tanaman

|1 komentar
Beberapa waktu yang lalu penulis telah membahas menengenai identifikasi bahaya pada kegiatan pemanenan secara manual hutan tanaman industri, pada kesempatan kali ini penulis menyajikan identfikasi bahaya pada kegiatan pemanenan secara mekanis. Pengertian pemanenan kayu secara mekanis adalah pemanenan kayu dengan menggunakan peralatan berat seperti excavator, skidder, fellerbuncher. Pada metode pemanenan mekanis terdapat dua aspek yang perlu menjadi perhatian yakni: 

1.    Operator alat berat: kemampuan, dan pengetahuan serta sikap kerja operator alat berat sangat berpengaruh terhadap masalah keselamatan kerja dn kualitas hasil kerja. Operator yang kurang memiliki pengalaman dan sikap kerja yang baik berkemungkinan besar dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan atau kerusakan pada alat. Untuk mengantisipasi hal tersebut sangat diperlukan adanya sistem rekruitmen yang benar dan sesuai dengan kualifikasi kerja, selain itu secara berkala perusahaan harus melakukan assessment dan pelatihan terhadap operator. 
2.    Kondisi alat berat: kondisi alat berat yang tidak standar selain dapat mempengaruhi keselamatan pekerja juga berakibat pada penurunaan produktifitas. Untuk menganitisipasi hal ini maka diperlukan sistem perawatan alat berat yang benar serta secara reguler melakukan inspeksi terhadap alat. 

Identifikasi bahaya:
Beberapa kejadian incident di kegiatan pemanenan hutan tanaman secara mekanis lebih banyak disebabkan oleh factor manusia (human factors). Berikut kejadian kecelakaan yang sering terjadi pada pengoperasian alat berat berdasarkan pengalaman penulis:
1.    Alat berat terbalik (roll over)
Kecelakaan yang mengakibatkan alat berat terbalik sering terjadi di areal yang memiliki kemiringan tajam, meskipun pada umumnya alat berat sudah difasilitasi system pengaman anti terbalik (roll over protection system), namun ini tidak akan bekerja dengan baik pada kondisi kemiringan areal yang ekstrim (umumnya diatas 450). Untuk itu perlu ditegaskan kepada para pengawas dan operator agar tidak bekerja di areal dengan tingkat kemiringan ekstrim seperti diatas.
2.    Tertimpa kayu/pohon
Beberapa kasus kecelakaan juga ditemui adalah kasus tertimpa kayu atau pohon, hal ini sering terjadi pada kegiatan penebangan pohon dan loading.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam upaya mencegah kecelakaan pada pengoperasian alat berat dalam kegiatan pemanenan kayu anatara lain:
1.    Lakukan inspeksi alat sebelum pengopeasian, pastikan alat berat dalam kondisi layak untuk dioperasikan.
2.    Patuhi peraturan dan buku petunjuk yang ada mengenai peraturan keselamatan pengoperasian alat berat.
3.    Sebaiknya tidak mengoperasikan alat diluar dari kapasitas yang disyaratkan oleh pabrik pembuat.
4.    Lakukan assessment dan training kepada operator alat untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan operator.

November 11, 2011

Mengenal Bahaya pada kegiatan pemanenan secara manual (manual harvesting) Hutan Tanaman Industri (HTI)

|0 komentar

Sistem pemanenan pada Hutan Tanaman Industri (HTI) pada umumnya dibagi atas dua jenis yaitu system pemanenan secara manual (manual harvesting)  dan system pemanenan secara mekanis (mechanize harvesting). Pada system pemanenan secara manual hamper seluruh tahapan kegiatan pemanenan dilakukan oleh manusia, sedangkan untuk pemanenan secara mekanis seluruh tahapan kegiatan pemanenan dilakukan oleh alat berat seperti excavator, fellerbuncher, skidder, debarker.
Pada pembahasan kali ini penulis akan memaparkan pengenalan bahaya pada kegiatan pemanenan secara manual terlebih dahulu. Pemaparan mengenai system pemanenan secara mekanis akan diuraikan pada pembahasan berikutnya.
 Berikut  identifikasi bahaya pada system pemanenan secara manual:
Tahapan Kegiatan
Potensi Bahaya
Under brushing
a.       Terkena parang
b.      Tertusuk duri/ranting
Feeling
a.       Terkena chainsaw (kickback)
b.      Tertimpa pohon atau batang kayu
c.       Paparan kebisingan
d.      Tertusuk ranting
Bucking
a.       Terkena benda tajam (parang)
b.      Terkena chainsaw
De-limbing
a.       Terkena benda tajam (parang)
b.      Tertimpah pohon/batang kayu
De-barking
a.    Terkena benda tajam (parang)
b.   Terkena chainsaw
Stacking
a.    Tetimpa batang kayu
b.    Back injury

Dari seluruh tahapan kegiatan pemanenan diatas pada umumnya kecelakaan yang dapat dapat menimbulkan kematian (fatality) berdsarkan pengalaman penulis adalah tertimpah pohon. Beberap penyebab kecelakaan akibat tertimpah pohon ini antara lain karena kegagalan operator dalam mengidentifikasi bahaya sebelum penebangan dan pemahaman yang kurang dalam teknik penebangan.
Identifikasi bahaya sebelum penebangan.
Beberapa hal yang harus dilakukan operator dalam melakukan identifikasi bahaya adalah pertama memastikan bahwa disekitar areal tebang tidak dijumpai pohon mati (dead tree) dan pohon sandar (hang on tree), kedua operator tebang wajib membersihkan areal disekitar pohon yang akan ditebang , hal ini untuk memudahkan operator dalam melakukan aktifitas penebangan serta untuk menentukan arah penyelamatan diri (escape route).
Teknik tebang secara manual
Teknik tebang secara manual dilakukan oleh operator dengan menggunakan chainsaw, sebelum melakukan penebangan beberapa hal yang harus diperhatikan oleh operator chainsaw adalah: 1. Menentukan arah rebah pohon, dalam hal ini operator perlu mengetahui tentang teknik membuat  takik rebah dan takik balas 2. Menentukan rute penyelamatan (escape route), escape route umumnya dibuat 45 derajat dibelakang arah rebah pohon, 3. Operator wajib menggunakan peralatan pelindung diri antara lain: saw cap, helmet, safety shoes, dan ear muff.

November 9, 2011

Teori gunung es biaya kecelakaan kerja

|1 komentar

Teori gunung es menjelaskan biaya-biaya yang tidak terlihat (biaya tidak langsung) yang dikeluarkan akibat dari suatu kecelakaan. Secara umum ketika terjadi kecelakaan maka biaya yang terlihat hanyalah biaya perawatan & pengobatan di klinik atau rumah sakit, namun sebenarnya biaya ini hanya 0 - 10% dari keseluruhan biaya yang dikeluarkan, 90% nya adalah biaya-biaya lain yang tidak terhitung secara langsung seperti: kerusakan peralatan, biaya perbaikan kerusakan material, gangguan produksi, biaya pengantaran korban ke rumah sakit, biaya akibat hilangnya hari kerja baik korban kecelakaan maupun karyawan, biaya penyewaan peralatan, dan nama baik perusahaan.
Untuk lebih jelas mengenai teori gunung es biaya kecelakaan dapat dilihat dari illustrasi berikut :
Sebuah kecelakaan kerja terjadi di estate A, korban X adalah operator traktor mengalami luka parah ketika unit yang sedang dioperasikan tergelincir ke jurang, akbat kecelakaan korban harus dirujuk ke rumah sakit dan traktor mengalami kerusakan pada system engine. Jarak dari estate A ke rumah sakit memerlukan waktu sekitar 7 jam menggunakan speed boat, dalam proses pengantaran korban ke RS korban juga harus ditemani oleh 1 orang rekan kerja, dan 1 orang perawat. Korban dirawat di RS selama 10 hari sebelum diperbolehkan pulang oleh pihak RS,  perjalanan pulang korban harus dijemput oleh speed boat dan kembali ditemani oleh 1 orang rekan kerja. Seluruh biaya perawatan korban selama di RS sudah di cover oleh pihak ketiga (asuransi).  
Asumsi upah korban perbulan adalah Rp 1,000,000. Sementara itu meskipun biaya kerusakan traktor di cover oleh asuransi, namun traktor memerlukan waktu perbaikan kurang lebih 20 hari, asumsi produktifitas traktor per hari adalah Rp  120,000 / hours machine (rata-rata pengoperasian traktor per hari = 8 jam). Akibat kecelakaan perusahaan juga harus membuat laporan ke pihak Dinas Tenaga Kerja
Illustrasi perhitungan biaya kecelakaan diatas adalah sebagai berikut:
No
Parameter
Amount
1
Biaya Langsung
 Rp                                  -
2
Biaya Langsung
ü  Biaya hari Hilang dari Korban selama 10 Hari: 10 Hari x (1,000,000/30)
 Rp                    333,333
ü  Biaya hari Hilang dari rekan Korban selama 4 Hari : 4 Hari x (1,000,000/30)
 Rp                    133,333
ü  Biaya Rental Speedboat PP : 3 Orang x Rp 350,000 Per Orang x 2 Trip
 Rp                 2,100,000
ü  Biaya perjalanan dinas rekan korban selama 4 hari = 4 x 100,000
 Rp                    400,000
ü  Biaya kehilangan produktifitas traktor = Rp 120,000 x 8 x 20
 Rp              19,200,000
Total Biaya Tidak Langsung
 Rp              22,166,667
Grand Total
 Rp              22,166,667

Translate this blog

English French German Japanese Korean Chinese Russian Spanish
India Saudi Arabia Netherland Portugal Italian Philippines Ukraina Norwegia
Powered by
Widget translator